Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman
al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari yang lahir di Lok Gabang, Astambul, Banjar, Kalimantan
Selatan, 17 Maret 1710 – meninggal 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun)
adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di
Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan.
Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.
Silsilah keturunan
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kesultanan Indragiri Abd Rahman Shiddiq,[1] berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.
Galur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao
bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin
Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk
seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As
Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al
Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad
Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al
Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali
Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin
Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam
Amirul Mu’minin Ali Karamallah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti
Rasulullah SAW.
Riwayat
Masa kecil
Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 - 1734 M)
memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung
Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang
asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas
dan berbakat, dicerita-kan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran
dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada
orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk
belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.
Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana
sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang
perempuan bernama Tuan Bajut. Hasil perkawinan tersebut ialah seorang
putri yang diberi nama Syarifah.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati
Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah
suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri
tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih
muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya
dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada
masa itu. Di antara guru beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad
al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif
Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang
tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk
dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai
khalifah.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan
kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang di
arak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung
pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang
akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu
sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya
telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin
Sultan HW, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada
ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian
terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat
kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama
"Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan
Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk
menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada
keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun
termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’[4].
Hubungan dengan Kesultanan Banjar
Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya
untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya
ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu setelah
gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad
Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah
seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan
kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu
Sultan Tahlilullah.
Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar,
sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama
Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad
Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak
kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.
Pengajaran dan bermasyarakat
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam
di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal
pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam
pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi
sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama
yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan
Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam
Pagar.
Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk
keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya
yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab
Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di
seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan
dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
Karya-karyanya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab
Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh
fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi
orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama".
Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta
pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah:
• Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
• Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
• Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
• Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung
diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam
Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci,
puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut
Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan
pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Referensi
1. ^ a b Syajaratul Arsyadiyah, Mathba'ah Ahmadiyah Singapura, oleh Abd
Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Cetakan I.
Tahun 1356 H.
2. ^ Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, oleh
Abdullah Hj W. Moh. Shagir, Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, Tahun
1990.
3. ^ Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari, oleh Abu Daudi, Dalam Pagar, Martapura. Cetakan Tahun 1980, 1996, dan 2003.